Bayu17’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

MEMAHAMI LOGIKA MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

oleh: Bayu Riadi

I. PENDAHULUAN

Sepanjang sejarah pendidikan matematika merupakan matapelajaran yang senantiasa sedikit peminatnya dan dihindari para siswa. Kalau seandainya para siswa tersebut diizinkan untuk memilih mata pelajaran yang akan dipelajarinya, tentu akan sangat sedikit yang memilih matematika. Hal ini sangat bertentangan dengan esensi dari matematika itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam permen nomor 22 tahun 2006, yang menyatakan, bahwa: Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Disampaikan pula bahwa perkembangan pesat dibidang ICT dilandasi oleh perkembangan matematika, dan untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.

Menyadari akan pentingnya matematika itu, maka pemerintah telah mewajibkan matematika untuk dipelajari sejak dibangku sekolah dasar. Hal ini tidak lain bertujuan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kegiatan matematika yang penuh dengan penalaran, melakukan pembuktian, pemecahan masalah dan penarikan kesimpulan akan mampu mempertajam kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif para peserta didik yang jika dikemas dalam suatu proses pembelajaran yang terpusat kepada siswa akan mampu meningkat kemampuan bertanggung jawab dan bekerjasama dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah digariskan.

Pada permen nomor 22 tahun 2006, disampaikan bahwa tujuan mata pelajaran matematika di sekolah adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Jika kita perhatikan dengan seksama, maka ada komponen yang selalu muncul pada setiap butir tujuan mata pelajaran matematika di atas, yaitu pemecahan masalah. Sehingga tidaklah terlalu berlebihan jika melalui pembelajaran matematika siswa diharapkan memiliki kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah.

II. TEORI BELAJAR-MENAJAR MATEMATIKA YANG RELEVAN

Proses pembelajaran matematika telah banyak mengalami perubahan dari proses pembelajaran yang berpusat pada guru, sampai kepada proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Dari proses drill and practice beralih kepada pembelajaran bermakna yang menyatakan bahwa pembelajaran akan lebih berhasil jika siswa memahami apa yang dipelajarinya. Bahkan menurut aliran konstruktivisme siswa seharusnya mengalami (membangun sendiri) pengetahuannya. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator yang mendukung proses pembelajaran pada diri siswa. Salah satu ,model pembelajaran matematika yang menekankan kepada kemampuan bernalar, berpikir kritis, analitis , kreatif dan membawa siswa kepada proses membangun sendiri pengetahuannya adalah model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Pada problem based learning, pembelajaran diawali dengan memberikan masalah untuk diselesaikan, dimana masalah yang diberikan berkaitan dengan konteks materi yang akan diajarkan. Melalui masalah-masalah tersebut siswa akan sampai pada pengetahuan yang diinginkan. Menurut Walsh (2005:4) tedapat 7 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah, yaitu:

1. Mengidentifikasi masalah (Identify the problem)

2. Menggali pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Explore pre-existing knowledge)

3. Membuat hipotesis dan mekanisme yang mungkin (Generate hypotheses and possible mechanisms)

4. Mengidentifikasi persoalan untuk pembelajaran (Identify learning issues)

5. Belajar sendiri (Self-study)

6. Mengevaluasi ulang dan mengaplikasikan pengetahuan yang didapat kepada masalah yang baru (Re-evaluation, and application of new knowledge to problem), dan

7. Penilaian dan refleksi dari pembelajaran (Assessment and reflection on learning)

Dalam proses pembelajaran di kelas, ketujuh langkah tersebut dapat diterapkan kedalam lima langkah kongkrit, yaitu:

Fase ke-

Indikator

Aktivitas / Kegiatan Guru

1

Orientasi siswa kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang dibutuhkan, memotovasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya

2

Mengorganisasikan siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mengidentifikasikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3

Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

4

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Pada dasarnya pembelajaran berbasis masalah bukan suatu model pembelajaran yang berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan model-model pembelajaran, pendekatan pembelajaran maupun teori belajar lainnya. Pada pembelajaran berbasis masalah terkandung pembelajaran bermakna, teori konstruktivisme baik itu individu maupun social, adanya penggunaan konteks dan juga melibatkan model pembelajaran kooperatif yang lebih berpusat pada siswa. Bahkan di akhir pelajaran ataupun setelah selesai seluruh proses pembelajaran pada hari tersebut guru dapat memberikan tugas-tugas tambahan berupa soal-soal latihan yang sifatnya dapat menambah pemahaman ataupun melatih keterampilan menyelesaikan soal-soal (practice).

Salah satu materi matematika sekolah yang memiliki karakteristik penalaran dan memiliki aplikasi yang luas pada semua bidang keilmuan lainnya adalah logika matematika. Pada logika matematika struktur berpikir siswa dibentuk dengan mempelajari nilai kebenaran pernyataan tunggal atau majemuk, negasi suatu pernyataan, pernyataan-pernyataan yang mengandung kuantor maupun melakukan penarikan kesimpulan yang pada dasarnya memiliki aplikasi yang sangat luas terutama dalam kegiatan penelitian ilmiah. Sehingga walaupun proses penarikan kesimpulan terletak pada akhir dari suatu kegiatan keilmuan namun justru tahap inilah yang paling menentukan . Pembelajaran berbasis masalah sangat tepat digunakan sebagai model pembelajaran untuk materi logika matematika, hal ini dapat dilihat dari persamaan antara logika matematika itu sendiri dan aspek-aspek yang ingin dicapai melalui pembelajaran berbasis masalah, yaitu berupa kemampuan berpikir kritis, kreatif, analitis dan skematis dalam memecahkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2004. Matematika (materi pelatihan terintegrasi). Depdiknas, Jakarta

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan dan Menengah. Depdiknas, Jakarta.

Walsh, Allyn. 2005. The Tutor in Problem Based Learning: A Novice ‘s Guide. McMaster University, Faculty of Health Sciences.

Juni 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Foto-foto Penataran ICT dan Studi Banding Ke SMAN 1 Teladan Yogyakarta

Pelatihan ICT Sekolah Bertarah Internasional

Foto Bareng di SMA Negeri 1 Teladan

Yogyakarta dalam rangka study visit Sekolah

Bertaraf Internasional

Pelatihan ICT guru-guru Sekolah

Bertaraf Internasional di PPPPTK

Sawangan Depok


Saat tiba di SMA Negeri ! Teladan Yogyakarta, mendengarkan paparan dari Waka Humas dan Waka Kurikulumnya


Juni 11, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Sekolah Kategori Mandiri (Self Supported School) dan Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan (sebuah kajian)

oleh: Bayu Riadi

Pendahuluan

Sejak kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945, bangsa kita telah menjadi bangsa yang merdeka. Dengan semangat bulat kita bertekad untuk menjadi bangsa mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam persaingan itu adalah kualitas pendidikan. Bagaikan seorang remaja yang beranjak menuju ke kedewasaaan, pendidikan di negara kita terus mencari suatu bentuk yang ideal yang sesuai dengan latar belakang kebudayaan kita, yang mampu mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang cerdaskan dan berwibawa.

Dalam perkembangannya kita telah beberapa kali melakukan perubahan kurikulum antara lain kurikulum 1975, kurikulum 1984 dan terakhir kemarin kurikulum 1994. Dalam beberapa tahun belakangan ini, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah pada berbagai bidang termasuk pendidikan kita mencoba untuk beralih ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006.

Pada tahun 2007 ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah mulai merintis dibentuknya Sekolah Kategori Mandiri (SKM) yang pembelajarannya mengunakan sistem SKS. Kebijakan yang diambil ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), bagian ketiga Pasal 10 dan sebelas yang mengatur tentang beban belajar dalam bentuk sistem paket dan sistem satuan kredit semester (SKS). Pada Ayat 3 menyebutkan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori mandiri dinyatakan dalam satuan kredit semester. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa sekolah kategori mandiri “harus” menerapkan sistem SKS, sedangkan sekolah kategori standar menerapkan sistem paket dan “dapat” menerapkan sistem SKS.

Untuk saat ini ada 441 SMA yang tersebar di 32 propinsi se-Indonesia dijadikan pilot project Sekolah Kategori Mandiri. Tidak hanya sampai disitu saja, sesuai dengan ketentuan Peralihan PP Nomor 19 Tahun 2005 butir b, menyebutkan bahwa satuan pendidikan wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak diterbitkannya PP tersebut. Hal tersebut berarti bahwa paling lambat pada tahun 2013 semua sekolah jalur pendidikan formal khususnya di SMA/MA sudah/hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang berarti berada pada kategori sekolah mandiri.

Profil Sekolah Kategori Mandiri

A. Landasan Hukum

Pembentukan Sekolah Kategori Mandiri didasarkan atas:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

§ Pasal 12, ayat 1, huruf b: setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya

§ Pasal 12, ayat 1, huruf f: setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan

§ Bab IX, pasal 35 menyebutkan bahwa: (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang otonomi daerah yang mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota

5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, bagian ketiga pada Pasal 10 dan 11 mengatur tentang beban belajar dalam bentuk sistem paket dan sistem satuan kredit semester (SKS). Pada Ayat 3 menyebutkan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal kategori mandiri dinyatakan dalam satuan kredit semester. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa sekolah kategori mandiri “harus” menerapkan sistem SKS, sedangkan sekolah kategori standar menerapkan sistem paket dan “dapat” menerapkan sistem SKS.

6. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi

7. Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan

8. Permendiknas Nomor 6 tahun 2007, sebagai penyempurnaan Permendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23 tahun 2006

9. Rencana Startegis Depdiknas tahun 2005-2009

10. Program kerja Depdiknas tahun 2007

11. Program kerja Ditjen. Manajemen Dikdasmen tahun 2007

12. Program kerja Dit. Pembinaan SMA tahun 2007

13. DIPA Peningkatan Kualitas Pembelajaran Tahun 2007

B. Pengertian

Sekolah Kategori Mandiri (SKM) adalah: “sekolah yang mampu mengoptimasikan pencapaian tujuan pendidikan, potensi dan sumberdaya yang dimiliki untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas” (Depdiknas: 8). Sesuai dengan pengertian tersebut maka tidak semua sekolah dapat serta merta ditunjuk menjadi Sekolah Kategori Mandiri. Berdasarkan buku pedoman Program Implementasi Sekolah Kategori Mandiri untuk SMA (Depdiknas: 8 – 11) maka untuk menjadi Sekolah Kategori Mandiri ada beberapa persyaratan minimal yang harus terpenuhi, yaitu antara lain:

a. Dukungan Internal

1) Kinerja Sekolah

a) Terakreditasi A (bagi yang sudah diakreditasi)

b) Rerata nilai UN tiga tahun terakhir minimum 7,00

c) Persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir

d) Animo tiga tahun terakhir > dari daya tampung

e) Prestasi akademik dan non akademik yang dicapai

f) Melaksanakan manajemen berbasis sekolah

g) Jumlah siswa per kelas maksimal 32 orang

h) Ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru

i) Ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua

2) Kurikulum

a) Memiliki Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mencerminkan kurikulum Sekolah Kategori Mandiri

b) Beban belajar dinyatakan dengan Satuan Kredit Semester.

c) Mata pelajaran yang harus diikuti oleh peserta didik dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu wajib (mata pelajaran pokok) dan pilihan (paket dan bebas).

3) Ketersediaan Panduan pelaksanaan

a) Memiliki pedoman pembelajaran

b) Memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat

c) Memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik

d) Memiliki pedoman penilaian

4) Kesiapan sekolah

a) Sekolah menyatakan ingin melaksanakan Sistem Kredit Semester

b) Persentase guru yang menyatakan ingin melaksanakan SKS ≥ 90%

c) Pernyataan staf administrasi akademik bersedia melaksanakan SKS

d) Kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer

5) Kesiapan Sumber Daya Manusia

a) Persentase guru memenuhi kualifikasi akademik ≥ 75%

b) Relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %)

c) Rasio guru dan siswa 1 : 20

d) Jumlah tenaga administrasi akademik sesuai ketentuan

e) Guru bimbingan konseling/karir

6) Ketersediaan Fasilitas

a) Ruang kepala Sekolah

b) Ruang wakil kepala sekolah

c) Ruang guru

d) Ruang bimbingan

e) Ruang Unit Kesehatan

f) Tempat Olah Raga

g) Tempat ibadah

h) Lapangan bermain

i) Komputer untuk administrasi

j) Memiliki laboratorium:

§ Bahasa

§ Teknologi informasi/komputer

§ Fisika

§ Kimia

§ Biologi

§ Multimedia

§ IPS

k) Perpustakaan memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran dan dikelola .

l) Layananan bimbingan karir

b. Dukungan Eksternal

1) Dukungan dari komite sekolah

2) Persentase orang tua yang menyatakan bersedia putranya mengikuti pembelajaran dengan SKS ≥ 60 %

3) Dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota secara tertulis (kebijakan dan fasilitas/pembiayaan)

4) Dukungan tenaga pendamping/nara sumber dalam keseluruhan proses pengambangan dan pelaksanaan SKM

C. Sistem Kredit Semester (SKS)

Hal baru yang berbeda dengan pelaksananan pembelajaran selama ini adalah Sekolah Kategori Mandiri menggunakan sistem Satuan Kredit Semester (SKS). Satuan Kredit Semester menurut Standar Isi adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan.

1. Dasar penerapan Satuan Kredit Semester adalah:

a) Kecepatan belajar siswa tidak sama

b) Potensi belajar siswa tidak sama

c) Minat siswa terhadap mata pelajaran tidak sama

d) Siswa akan sukses bila belajar sesuai dengan potensi dan minatnya.

e) Siswa dapat menyelesaikan studi selama 5 semester dan bisa lebih dari 6 semester

2. Kurikulum Sistem Kredit Semeter adalah:

a) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar disusun menjadi satuan kredit semester, yaitu 120 SKS

b) Mata pelajaran:

1). Wajib/Pokok untuk seluruh peserta didik

2). Pilihan Paket, sebagai dasar untuk mendukung bidang kemampuan yang akan dipilih di perguruan tunggi.

3). Pilihan Bebas, sesuai dengan bakat dan minat peserta didik.

4). Kelompok MP Pilihan Paket, meliputi berbagai bidang kemampuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan lebih lanjut, yang mencakup:

o Program akademik: Teknik, Ilmu kesehatan, Sains, Ekonomi, Ilmu Sosial, Bahasa, Hukum, dan sebagainya

o Program profesional: Politeknik.

c) Beban belajar siswa dinyatakan dengan satuan kredit semester (SKS), yaitu 16 sampai 27 SKS per semester. Kecepatan belajar normal adalah 20 SKS per semester.

d) Satu SKS untuk mata pelajaran teori terdiri atas:

1). 45 menit tatap muka

2). 25 menit penugasan akademik terstruktur dan kegiatan akademik mandiri tidak terstruktur

e) Satu SKS pelajaran praktikum terdiri atas 2 sampai 3 jam praktek di laboratorium atau bengkel

f) Mata pelajaran pilihan ditawarkan mulai semester 3

3. Beban Belajar:

a) Semester 1 dan 2 sebanyak 20 SKS

b) Semester 3 dan seterusnya bisa 16 SKS sampai 28 SKS sesuai dengan prestasi yang dicapai pada semester sebelumya

c) Dimungkinkan siswa lulus kurang dari 6 (enam) semester

d) Pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi, minat, dan kecepatan belajar siswa melalui bimbingan dari penasehat akademik siswa

4. Pembelajaran:

a) Pelaksanaan pembelajaran menerapkan pendekatan tatap muka, kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Oleh karena itu siswa didorong untuk dapat belajar secara mandiri.

b) Menerapkan pengelolaan pembelajaran dengan sistem siswa pindah ruang kelas (moving class). Untuk itu diperlukan kelas mata pelajaran.

c) Guru menyediakan jadwal untuk konsultasi mata pelajaran.

d) Jadwal pemanfaatan laboratorium untuk kegiataan di luar jadwal rutin

e) Pemanfaatan perpustakaan

f) Penasehat akademik mendeteksi potensi siswa, bisa dengan tes bakat disertai data prestasi belajar.

g) Ada program remedi sepanjang semester (tidak ada batasan frekuensi pelaksanaan remedi dalam satu semester sehingga diperlukan perangkat pendukung untuk pelaksanan remedi antara lain dalam bentuk modul pembelajaran mandiri yang disiapkan oleh guru)

h) Menerapkan pembelajaran berbasis TIK

5. Penilaian:

a) Bentuk penilaian: tugas-tugas, ujian midsemester dan ujian semester

b) Penilaian menggunakan acuan kriteria dengan kategori A, B, C, dan D

c) Konversi skor menjadi grade, dan konversi grade menjadi skala 4

d) Lulus minimum mencapai nilai C

e) Syarat lulus dari sekolah indeks prestasi minimum 2,00

6. Administrasi Akademik:

a) Setiap siswa di bawah bimbingan penasehat akademik membuat rencana studi, kemudian bisa direvisi atas dasar prestasi yang dicapai siswa

b) Administrasi data prestasi siswa

c) Mata pelajaran pilihan ditawarkan setelah semester 3

Opini Masyarakat tentang SKM dengan sistem SKS-nya

Sejak dikeluarkannya PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional (SNP) yang didalamnya mengandung kebijakan diberlakukannya sistem SKS untuk Sekolah Kategori Mandiri, pro dan kontra muncul di masyarakat. Seringnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang terlalu dini dan terkesan tidak dipertimbangkan dengan matang membentuk opini yang buruk bagi masyarakat. Hal ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengkhawatirkan penerapan sistem SKS di SMA terlalu dini, sehingga walaupun mereka mengakui bahwa sistem SKS tersebut merupakan salah satu solusi yang dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu pendidikan namun jika pemerintah tidak mempertimbangkannya dengan matang tentu tidak akan mendapatkan perubahan yang diinginkan.

Keraguan masyarakat ini dapat dimaklumi, mengingat masih banyak aspek pendidikan di negara kita yang perlu dibenahi. Sebagaimana disampaikan sendiri oleh pemerintah pada bagian pendahuluan Buku 1 tentang Program Implementasi Sekolah Kategori Mandiri di SMA (4 : 2007), bahwa permasalahan utama pendidikan adalah disparitas mutu pendidikan khususnya yang berkaitan dengan (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya, (2) prasarana sarana belajar yang belum tersedia, dan bilapun tersedia belum didayagunakan secara optimal, (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif; dan penyebaran sekolah yang belum merata, ditandai dengan belum meratanya partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, seperti masih terdapatnya kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, antarwilayah. Dua permasalahan tersebut di atas menjadi bertambah parah karena tidak didukung dengan komponen-komponen utama pendidikan seperti kurikulum, sumberdaya manusia pendidikan yang berkualitas, sarana dan prasarana, serta pembiayaan.

Mengingat beberapa syarat minimal yang harus dipenuhi untuk menjadi sekolah kategori mandiri sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, maka akan lebih tepat bila pemerintah terlebih dahulu membenahi permasalahan-permasalahan yang ada atau setidaknya menguranginya sehingga ini akan mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat disamping langkah yang diambil dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan kita akan menjadi lebih terarah.

Bagaimana kesiapan sekolah-sekolah yang telah ditunjuk menjadi pilot project SKM?

Apapun opini masyarakat tentang SKM dengan sistem SKS-nya, pada tahun ini pemerintah telah memilih beberapa sekolah yang dipandang mampu untuk menjadi Sekolah Kategori Mandiri sebagai pilot project. Sehubungan dengan hal tersebut mari kita lihat kesiapan beberapa sekolah yang menjadi pilot project tersebut:

§ Dinas Pendidikan Kota Malang menyatakan siap untuk melaksanakan sistem SKS tersebut, hal ini dapat diketahui dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) kota malang Dr. H Shofwan SH MSi yang menyatakan “Saya kira kita siap menerapkan itu (SKS) karena kita memiliki kesiapan sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana yang mumpuni. Serta dukungan orang tua, masyarakat dan pemerintah daerah”. Disamping itu beliau juga menyatakan bahwa pelaksanaannya tidak langsung secara keseluruhan, tetapi akan ditunjuk beberapa sekolah tertentu yang sudah siap saja. (surya online : 2007)

§ Beberapa SMA di DI Yogyakarta menyatakan siap memberlakukan system SKS, dinyatakan pula bahwa system SKS dinilai sebagai sistem akselerasi murni yang efektif mempercepat kelulusan siswa.(kompas on line : 2007). Menurut Kepala Bidang Sekolah Menengah Dinas Pendidikan DIY Tugini saat ini DIY telah menyiapkan 30 sekolah kategori mandiri untuk persiapan jelang SKS. Walaupun telah ditargetkan pada tahun 2013 semua SMA telah melaksanakan sistem SKS namun pemerintah DIY tidak mau tergesa-gesa untuk melaksanakan

§ Untuk kota Palembang, sekolah yang ditunjuk untuk menjadi pilot project adalah SMA Negeri 3 Palembang. Saat ini SMA Negeri 3 Palembang sedang mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan karena ditargetkan pata tahun pelajaran 2008/2009 sistem SKS sudah bisa diterapkan di sekolah ini. Satu hal yang menarik untuk kita simak bersama bahwa SMA negeri 3 Palembang berniat untuk menerapkan SKM dengan biaya rendah, keputusan ini diambil setelah melihat pelaksanaan SKM di SMA negeri 78 Jakarta dengan memungut biaya yang tinggi. (sumeks on line : 2007)

Penutup

Kita menyadari bahwa perbaikan-perbaikan dalam dunia pendidikan baru akan dapat kita lihat hasilnya dalam beberapa masa kedepan, yang berarti dalam kondisi yang sudah tidak mungkin bagi kita untuk mengubahnya. Sebab perubahan yang kita lakukan akan memberikan hasil untuk beberapa masa ke depan. Memang demikianlah, dalam dunia pendidikan kita tidak dapat dalam waktu singkat melihat pengaruh dari kebijakan yang kita terapkan. Mengingat hal tersebut maka, sebagai orang-orang yang bergerak dalam dunia pendidikan, pertimbangan yang sangat matang haruslah dilakukan sebelum mengambil kebijakan atau menetapkan langkah yang akan dilakukan.

Demikian juga dengan langkah yang telah diambil untuk membentuk Sekolah Kategori Mandiri (SKM). Ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik dengan menerapkan sistem tersebut, antara lain adalah:

· Siswa dapat lulus lebih cepat sesuai dengan kemampuan masing-masing.

· Siswa menjadi lebih mandiri dan mampu merencanakan studinya dengan lebih baik, tidak hanya mengikuti apa yang telah diprogramkan seperti sekarang.

· Dapat mengatasi permasalahan kenaikan kelas yang selama ini menjadi masalah semu (yaitu: jarang sekolah yang siswanya tidak naik)

· Memungkinkan siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minatnya.

Memang harus kita akui bahwa dengan sistem yang sekarang ini secara tidak kita sadari telah menghambat sejumlah siswa yang mempunyai potensi untuk menyelesaikan studinya lebih cepat dari yang umumya, sehingga mereka menjadi sedikit terhalang untuk mengembangkan dirinya.

Namun demikian, ada suatu pertanyaan besar yang perlu kita jawab, yaitu: “Sudah mampukah kita menerapkan sistem tersebut dengan baik?”. Melihat kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjadikan semua SMA nantinya menjadi Sekolah Kategori Mandiri, dengan langkah merintis beberapa sekolah untuk menjadi pilot project maka penulis menemukan beberapa kejanggalan yang seyogyanya dipertimbangkan sebelum melaksanakan program tersebut. Kejanggalan-kejanggalan tersebut antara lain:

SKM dengan sistem SKS-nya memungkinkan siswa untuk menyelesaikan studinya dalam 2,5. Jika kondisi ini tidak diimbangi oleh kebijakan perguruan tinggi – perguruan tinggi (terutama yang berstatus negeri) untuk menerima mahasiswa 2 kali setahun maka para siswa yangtelah menamatkan studinya terpaksa harus menunggu selama setengah tahun untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Tentunya bukan hal sepeti ini yang kita harapkan.

Masih adanya Ujian Nasional yang terkesan belum mempercayai kualitas pendidikan yang dihasilkan oleh sekolah “Padahal Sekolah Kategori Mandiri telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan”. Dapat dipahami bahwa salah satu tujuan diadakannya Ujian Nasional adalah untuk menyetarakan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi ketika pemerintah telah membentuk suatu sekolah yang dinyatakan telah memenuhi memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan yang didalamnya antara lain memuat (standar isi, standar kelulusan, standar proses dan standar penilaian) maka selayaknya Ujian Nasional tidak perlu diadakan. Kalaupun akan diadakan ujian yang sifatnya menyeluruh secara Nasional, tujuannya adalah untuk melihat perkembangan pendidikan secara nasional sebagai landasan menentukan kebijakan dibidang pendidikan. Adapun ujian tersebut tidak harus dilaksanakan di akhir tahun pelajaran apalagi khusus untuk siswa kelas terakhir dan digunakan sebagai penentu kelulusan siswa.

Besar harapan kita bahwa apa yang kita khawatirkan tidak akan terjadi, karena kita menginginkan sepuluh atau dua puluh tahun ke depan generasi-generasi penerus bangsa ini adalah generasi yang dapat di andalkan dan mampu membawa bangsa dan negara ini menjadi bangsa dan negara yang dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Melihat konsep yang ada tentang Sekolah Kategori Mandiri, kita yakin bahwa sistem ini akan mampu meningkatkan mutu pendidikan kita, dengan catatan bahwa kondisi-kondisinya harus betul-betul terpenuhi yang tentu ini menuntut kekonsistenan dan kepedulian yang tinggi pemerintah terhadap pendidikan di negara kita.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah jangan terlalu dini menginformasikan suatu kebijakan/program yang waktu pelaksanaanya masih jauh dan persiapannya belum benar-benar matang. Hal ini dikarenakan segala sesuatu yang dikeluarkan pemerintah akan menjadi perhatian dan kajian bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dr Anwar Ibrahim dalam Sri Hartana(2004), yaitu: “kesalahan dalam pendidikan kita adalah telah melakukan sosialisasi pendidikan terlampau dini. Akibatnya, bukan keberhasilan yang dicapai, melainkan keterpurukan terhadap kualitas pendidikan kita. Sekali lagi, agar kita tidak terperosok ke jurang, maka perlu mengkaji secara lebih serius sebelum menerapkan sebuah kebijakan baru. Dengan begitu, kebijakan yang diterapkan nantinya betul-betul bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan.”

Daftar Pustaka

Dit. Pembinaan SMA, 2007. Program Implementasi Sekolah Kategori mandiri di SMA, Buku-1. Jakarta: Depdiknas

Hartana, Sri. 20 Desember 2004. Menerapkan Sistem Kredit di Sekolah. http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/20/opi3.htm diakses pada tanggal 16 November 2007

Kompas online. 2 Agustus 2007. SMA Siap Berlakukan SKS. http://kompas.com/kompas-cetak/0708/02/jateng/57496.htm diakses pada tanggal 16 November 2007

Surya online. 06 Maret 2007. Malang Siap Terapkan Sistem SKS, Implementasi KTSP. http://www.surya.co.id/web diakses pada tanggal 16 November 2007

Diknas Palembang. 8 November 2007. 2008, SMA Negeri 3 Siap Jadi SKM. http://diknas.palembang.go.id/index.php?id=83&tipe=detilberita diakses pada tanggal 14 November 2007

Juni 9, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

Ontologi Pengetahuan (Hakikat Apa yang dikaji)

oleh: Bayu Riadi

Pendahuluan

Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan pengetahuan tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut membedakan antara jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya.

Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Sebab kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikannya dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih”.

Pengetahuan banyak jenisnya, salah satunya adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang objek telaahnya adalah dunia empiris dan proses pendapatkan pengetahuannya sangat ketat yaitu menggunakan metode ilmiah. Ilmu menggabungkan logika deduktif dan induktif, dan penentu kebenaran ilmu tersebut adalah dunia empiris yang merupakan sumber dari ilmu itu sendiri.

Apakah hubungan Ilmu dan filsafat?

Istilah filsafat mengandung banyak penegertian, namun untuk tujuan pembahasan kita, filsafat diartikan sebagai suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya terlepas dari pengamatan kefilsafatan. Tak ada suatu pernyataan yang bagaimanapun sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama. Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berpikir kita dari awal sampai akhir seperti dinyatakan oleh Socrates, bahwa tugas filsafat sebenarnya bukan menjawab pertanyaan kita tetapi mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan manusia dalam berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban yang diberikan namun juga dari pertanyaan yang diajukan.

Lalu bagaimana hubungan filsafat dengan ilmu? Telah disampaikan di atas bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-penegetahuan lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok tentang apa yang ingin kita ketahui, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut dan apa nilai kegunaannya bagi kita. Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan perkataan lain, sesuatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Kemudian bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut? Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita berpaling kepada epistemologi: yakni teori pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan nilai pengetahuan tersebut maka kita berpaling kepada axiologi: yakni teori tentang nilai. Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi dan axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakikat buah pemikiran tersebut.

Dasar Ontologi Ilmu

Telah disampaikan sebelumnya bahwa kajian ilmu adalah objek empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai objek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesunggunya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat objek empiris tertentu, untuk mendapatkan sari yang berupa pengetahuan mengenai objek tersebut.

Ada 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi.

* Metafisika

Secara etimologis metafisika berasal dari kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” berarti sesudah, di belakang atau melampaui, dan “fisika”, berarti alam nyata. Kata fisik (physic) di sini sama dengan “nature”, yaitu alam. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya diluar hal yang ditangkap panca indra.

Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indra. Sosiologi mempelajari manusia dalam bentuk kelompok serta interaksinya yang dapat ditangkap indra serta yang berada dalam pengalaman manusia; begiru juga psikologi, biologi, dan sebagainya.

Namun metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini. Jadi metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala).

Metafisika dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Ontologi, dan 2) Metafisika khusus. Ontologi mempersoalkan tentang esensi dari yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada, “ontology is the theory of being qua being”(Runes, 1963,h.219). Sedangkan Metafisika Khusus, mempersoalkan theologi, kosmologi, dan antropologi.

* Asumsi

Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu.

Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik.

Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.

Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).

* Peluang

Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Satu hal yang perlu disadari bahwa “…ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak” (Jujun : 79). Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut. Seseorang yang mengenal dengan baik hakikat ilmu akan lebih mempercayai pernyataan “ 80% anda akan sembuh jika meminum obat ini” daripada pernyataan “yakinlah bahwa anda pasti sembuh setelah meminum obat ini”.

Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.

Sebagaimana telah disampaikan terdahulu, bahwa Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Statistika merupakan metode yang menyatakan hubungan probabilistik antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Sesuai dengan peranannya dalam kegiatan ilmu, maka dasar statistika adalah teori peluang. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakikat ilmu akan sangat berlainan.

Penutup

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimuai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologis (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sementara itu Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Salah satu landasannya adalah ontologis yang berisi pertanyaan-pertanyan tentang Objek apa yang ditelaah ilmu?, Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia. Satu hal yang perlu kita sadari bahwa ilmu tidak pernah ingin untuk mendapatkan kebenaran yang mutlak, kebenaran yang ditawarkan ilmu adalah bersifat peluang dengan berlandaskan kepada asumsi-asumsi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan): Rineka Cipta. Jakarta

Suriasumatri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer): Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Suriasumatri, Jujun.1991. Ilmu Dalam Perspektif: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Juni 9, 2008 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar